Yang Datang tanpa Pertanda
Entah kenapa kanker nasofaring lebih banyak menyerang warga Tionghoa-baik di negara asal maupun di perantauan. Penyebab pastinya sampai sekarang belum jelas benar. Selain faktor ras dan keturunan, infeksi virus Epstein Barr dituding sebagai biang keladi.
Pemicu lainnya adalah gaya hidup yang jauh dari sehat. Meskipun sama-sama berisiko, jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Lewat sejumlah terapi, penderita kanker dapat sembuh. Deteksi dini akan sangat membantu.
Serangan Tumor Ganas Nasofaring
Nasofaring adalah daerah tersembunyi yang terletak di belakang hidung dan berhubungan dengan banyak daerah penting di otak dan leher. Bentuknya seperti kubus. Bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung. Bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak. Sedangkan bagian bawahnya langit-langit dan rongga mulut.
Tumor yang tumbuh di sekitar muara tuba eustachius (saluran penghubung hidung-telinga) awalnya tidak menimbulkan gejala. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, muncul berbagai gangguan:
Nyeri kepala karena sel kanker menyebar ke leher dan kepala.
Pandangan mengabur atau jadi dua (diplopia) karena saraf mata tertekan.
Mimisan.Ini karena dinding permukaan tumor rapuh sehingga mudah iritasi dan berdarah.
Hidung serasa tersumbat karena sel kanker menyebar ke rongga hidung.
Telinga terasa penuh, berdengung, dan terasa nyeri. Ini karena tumor menyumbat muara tuba eustachius.
Pembengkakan daerah sekitar leher karena kelenjar getah bening membengkak.
Muncul benjolan di bawah telinga akibat semakin besarnya tumor.
Sate, rokok, dan bir. Ketiganya lekat dalam kehidupan Oey Thianh Khaie. Bagi lajang 41 tahun yang akrab disapa Akai ini, sate ayam dan juga kambing sungguh praktis. Cukup beli di warung pinggir jalan, lalu dibawa pulang, dan siap disantap. Nikmat. Setelah perut kenyang, ini dia, Oey merokok. "Tak afdol bila tak dilengkapi rokok," katanya.
Akai memang pecandu rokok. Saban hari satu sampai dua bungkus rokok tandas dihisapnya. Pada saat senggang, dia lengkapi ritual makan sate dan menghisap rokok ini dengan menenggak berkaleng-kaleng bir. "Saya bisa menghabiskan 10 sampai 12 botol bir," katanya.
Tapi itu kisah masa lalu Akai. Kini ia telah berubah drastis. Lelaki yang bekerja sebagai penyelia di sebuah perusahaan di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, itu tak sudi lagi menyentuh sate, rokok, dan bir. Ritual favorit itu tinggal kenangan.
Akai kini memilih gaya hidup sehat. Bukan cuma menjaga fisik, ia juga menata jiwanya. Dia mencoba lebih sabar, mengindari stres, dan rajin beribadah. "Soalnya, Tuhan sudah memberi saya kesembuhan. Ini benar-benar mukjizat," katanya. Akai yang sekarang, katanya, "Tidak lagi pemarah dan gampang tersinggung. "
Masih terngiang di kepalanya sebuah peristiwa dua tahun lalu. Ketika itu dokter menyatakan bahwa harapan hidupnya tinggal 10 persen gara-gara kanker nasofaring. Tanpa aba-aba dan pertanda, kanker itu menyerang bagian belakang hidungnya. Saat diketahui, sel-sel liar kanker sudah memasuki tahap terminal, stadium IV B. "Keluarga dan teman-teman sudah pasrah. Saya bakal lewat, nih," katanya mengenang.
Akai tak pernah mengira dirinya mengidap kanker. Soalnya, dia merasa tubuhnya sehat-sehat saja. Sepanjang pengetahuannya pun tak ada riwayat keluarganya yang terkena penyakit mematikan ini. Benar, dia sadar bahwa pola hidupnya tidak sehat. "Tapi saya tidak mengira terkena penyakit ini," katanya. Memang, sesekali telinganya terasa seperti kemasukan sesuatu. "Berdenging, seperti habis berenang," katanya. "Tapi saya pikir itu biasa."
Lalu, suatu hari di awal Agustus 2006, ketika bermain bulu tangkis, dari hidungnya mengalir darah seperti mimisan. Gejala ini makin lama makin sering dengan durasi 10 hingga setengah jam. Sejak saat itu kondisinya makin melorot.
Kedua hidungnya serasa tersumbat, sumbatan yang makin lama terasa makin berat. Akai harus bernapas lewat mulut. Hatinya tambah ketar-ketir sewaktu muncul benjolan di bawah telinga kiri dan kanannya, berdiameter 7-11 sentimeter. Mirip penderita gondok. Bobot tubuh pria bertinggi badan 162 sentimeter ini melorot, dari 54 kilogram anjlok menjadi 38 kilogram.
Apa yang terjadi? Mari kita ikuti penjelasan Himawan, dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta.
Pada awal kemunculannya, kata Himawan, tumor ganas nasofaring memang sering hadir diam-diam. Gejala baru muncul ketika kanker sudah memasuki stadium lanjut. "Gara-gara itu, mayoritas penderita kanker jenis baru ini berobat saat stadium tiga atau empat," kata Himawan.
Stadium tiga atau empat kanker nasofaring biasanya ditandai dengan benjolan di daerah leher. "Harapan hidup tahap ini sudah menipis," kata Himawan, yang menjelaskan hal ini dalam seminar mengenai kanker nasofaring yang digelar komunitas relawan, mantan, dan penderita kanker, Cancer Information and Support Center, di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, akhir Juni lalu.
Diagnosis kanker nasofaring sering terlambat karena ketiadaan gejala yang khas. "Bahkan ketika pasien sudah mimisan pun banyak dokter umum yang tidak tahu bahwa dia menghadapi kanker nasofaring," kata Himawan. Maklum, gejala mimisan umum dijumpai pada penyakit THT lain seperti sinusitis dan pilek kronis. Akibatnya, mimisan sering diabaikan, sampai akhirnya kondisi tubuh kian menurun.
Berbeda dengan kanker payudara yang bisa terlihat dan teraba, atau kanker leher rahim yang sukar dilihat tapi bisa teraba, kanker nasofaring sukar terlihat maupun teraba. Maklum, letaknya tersembunyi (lihat infografik). Akibatnya, pada stadium dini, tumor nasofaring yang berukuran kecil kerap luput dari pemeriksaan dokter.
Jadi, untuk memeriksa tumor ganas ini, dokter harus menggunakan endoskopi. Alat ini dimasukkan ke lubang telinga. Biopsi atau pengambilan jaringan pun mutlak dilakukan untuk memastikan tingkat keganasan dan jenis pengobatannya.
Budianto Komari, ahli kanker telinga, hidung, dan tenggorokan dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, menjelaskan kanker nasofaring adalah kanker di daerah kepala dan leher yang paling banyak ditemukan di Indonesia. "Hampir 70 persen dari benjolan di leher bagian atas adalah kanker nasofaring," kata Budianto.
Sayang, pemahaman masyarakat tentang kanker nasofaring masih rendah. Karena itu, Perhimpunan Onkologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, dan Cancer Information & Support Center akan membahas ihwal ini dalam seminar bertajuk "Kanker, Bertindak Sekarang Sebelum Menjadi Masalah", di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Sabtu pekan ini.
Berdasarkan data, kanker nasofaring termasuk kelompok lima besar tumor ganas yang sering dijumpai di Indonesia bersama dengan kanker payudara, leher rahim, paru, dan kulit. Angka kejadiannya di Indonesia sekitar 4,7 per 100 ribu. "Entah kenapa, etnis Tionghoa lebih rentan terkena penyakit ini," kata Budianto. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan faktor genetis yang belum sepenuhnya dipahami.
Seperti halnya jenis kanker lain, penyebab pasti kanker nasofaring memang belum terang-benderang. Para ahli menduga, infeksi virus Epstein Barr turut berperan pada kemunculan kanker ini (lihat boks). Tingkat kematian pasien kanker nasofaring terbilang tinggi karena terlambat ditangani. "Mereka lebih suka memilih pengobatan alternatif," tutur Himawan.
Jalur pengobatan alternatif pula pilihan Akai. Dia sempat gonti-ganti sinshe , tabib Cina, sebelum akhirnya menyerah ke tangan dokter. "Soalnya waktu itu saya takut. Jadi, saya lebih memilih menggunakan obat-obatan Cina," katanya. Tapi, "Ternyata tumornya makin besar."
Demi kesembuhan, Akai rajin menjalani semua terapi yang disarankan dokter, mulai dari kemoterapi hingga radiasi. Semangat hidup membuatnya bertahan meskipun serangkaian terapi membuat tubuhnya babak-belur. Rambutnya rontok dan kulit tangannya menghitam. Dia tak bisa makan apa pun kecuali susu selama berbulan-bulan lantaran mulutnya penuh luka akibat gempuran radiasi. Biaya pengobatan pun tak sedikit. "Bisa buat beli mobil Kijang Innova," kata Akai.
Syukurlah, jerih payah Akai berbuah. Kondisinya semakin membaik. Hasil pemeriksaan CT scan terakhir menunjukkan tumor ganas itu sudah tidak ada lagi di tubuhnya. "Seganas apa pun penyakit kita," katanya, "harapan hidup tetap ada."
Dipicu Ikan Asin
Seperti halnya jenis kanker lain, penyebab pasti kanker nasofaring belum terang-benderang. Namun infeksi dari virus Epstein Barr memegang peranan penting. Virus ini dapat masuk dan menetap di dalam nasofaring selama bertahun-tahun tanpa menimbulkan gejala.
Terjadinya kanker nasofaring antara lain dipicu:
Terlalu banyak mengkonsumsi ikan asin. Penelitian di Hong Kong pada 1986 menyebut bahwa sebagian penderita kanker nasofaring di bawah usia 35 tahun mengkonsumsi ikan asin sejak usia di bawah 10 tahun.
Kelewat sering menyantap makanan yang diawetkan: makanan kaleng, tauco, terasi, daging asap.
Sering terpapar zat karsinogen seperti cat, gas kimia, pembakaran dupa, obat nyamuk bakar, dan hidup di lingkungan penuh asap dengan ventilasi kurang baik.
Radang menahun di daerah nasofaring.
Kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol.
Ras dan keturunan. Orang-orang Tionghoa, baik di daerah asal maupun perantauan, lebih rentan terkena penyakit ini.
Sumber : Majalah Tempo
5. Outdoor Activities vs Sinar Matahari
-
Dear all, Selamat pagi. Apa kabar? Sudah sempat bergerak (berolah raga)?
Sewaktu masih menjadi staf pengajar di FK (akhir 1990an sd awal 2000an),
saya meng...
5 tahun yang lalu
1 komentar:
Thanks Infonya...
Posting Komentar